Senin, 27 Maret 2017

identitas peradaban negara vs politik belanda

Tags


Ahli-ahli sejarah Belanda sejak masa Kolonialisme sudah membuat rekayasa sejarah mengutamakan Kebudayaan Jawa dan Bali sebagai puncak kejayaan Melayu-Indonesia. Diantaranya sejarawan Belanda bernama Jan Laurens Andries Brandes dan Eduard Douwes Dekker. Keduanya menulis buku tentang Nusantara dengan wawasan yang sempit.

Keduanya menggunakan kata 'Nusantara' yang artinya kepulauan antara Jawa dan Bali. Penggunaan ini memiliki tujuan khusus. Yakni memunculkan Jawa dan Bali –yang beragama Hindu– sebagai pusat peninjauan utama kajian sejarah di rantau Nusantara.

Hindu-Budha memang lebih dulu berjaya di Nusantara daripada Islam. Akan tetapi kebudayaan Hindu-Budha tidak memberi bekas terhadap masyarakat Nusantara. Pengaruh kuat Hindu hanya terbatas kepada keluarga elit kerajaan. Sedangkan kalangan rakyat tidak begitu menghiraukan doktrin kebudayaan Hindu.

Dalam hal ini Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas menulis: "Kita harus tahu bahwa kedatangan agama Hindu itu tidak mengubah pandangan hidup masyarakat Melayu-Indonesia, suatu Weltanschaung atau Pandangan dunia yang berdasarkan seni dan bukan Falsafah. Apabila agama Hindu tiba di kalangan mereka, ajaran-ajaran yang mengandung unsur falsafah tiada dihiraukan, dan yang lebih menarik hati mereka adalah ajaran-ajaran yang lebih sesuai dengan bawaan jiwa asli masyarakat."

Sejalan dengan analisis Syed Muhammad Naquib Al-Attas tersebut, Van Leur juga berkesimpulan sama. Ia menyatakan bahwa masyarakat Melayu-Indonesia itu bukanlah sebenarnya masyarakat Hindu. Tapi hakikatnya hanya golongan bangsawan sajalah yang meresapi kebudayaan Hindu-Budha itu.

Karya sastra Kakawin Nagarakretagama ­yang ditulis Empu Prapañca pada masa Majapahit, misalnya, ditulis justru untuk kepentingan keraton dan istana. Ia tersimpan dan terpelihara hanya dalam 1 bentuk naskah, tidak diperbanyak. Karya ini tidak menyorotkan falsafah luhur yang menyerap akal budi. Karya lain seperti Kakawin Arjunawiwāha karya Empu Kanwa merupakan karya sastra yang mengandung falsafah namun tidak ada syarah atau penafsirannya yang bisa dipahami rakyat, sehingga mengisyaratkan karya ini khusus untuk elit raja-raja dan bangsawan.

Karya-karya tersebut dinikmati dan memang diingini oleh kalangan raja, namun gagal 'membumi' di kalangan rakyat jelata. Dan tidak membawa pengaruh dan kesan apa-apa. Sehingga, keberagamaan rakyat sesungguhnya lebih cenderung kepada kebudayaan Animisme khas Jawa daripada Agama Hindu.

Dalam catatan Syed Muhammad Naquib al-Attas, sarjana-sarjana Barat keliru dalam mengesankan kebudayaan asli pribumi itu Hindu-Budha. Beberapa mitologi dan teori kebudayaan yang berlangsung di kalangan penduduk pribumi Nusantara telah wujud dalam bentuk animisme sebelum Hindu-Budha datang. Ketika Hindu-Budha dianut raja-raja, para pemuka agama membuat rekayasa mempersamakan dengan adat-adat pribumi. Dalam legenda-legenda Hindu, cerita dibuat mirip. Lantas, kebudayaan tersebut diklaim sebagai Hindu.

Van Leur cukup terbuka dan tegas menolak pandangan kebanyakan sarjana Barat. Menurutnya, partisipasi masyarakat terhadap Hindu dilakukan dengan paksaan raja. Sehinga ia berkesimpulan bahwa masyarakat Melayu-Indonesia bukanlah masyarakat yang di-Hindu-kan. Adapun pengaruhnya, terlalu dibesar-besarkan oleh Orientalists Belanda dan Inggris.

Kebudayaan ini tidak mewariskan sebuah pandangan hidup yang filosofis dan rasional. Kebanyakan kebudayaan Hindu-Budha mewarisi seni arsitektur India, candi dan kesusastraan yang berbau mitos.
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, selama abad ke-6 sampai 11 Masehi, konon Sumatera merupakan pusat terbesar agama dan falsafah Budha. Namun para pemukanya tidak memberi kesan apa-apa dalam bidang filsafat, tapi justru bidang seni.

Belanda juga membuat rekayasa sejarah Indian-centrik. Dipopulerkan bahwa kebudayaan Nusantara ini Hindu dari India. Al-Attas membantah teori Indian-centrik ini. Jadi, politik nativisasi Belanda ini bertujuan melanggengkan penjajah, dan mengesankan ketiadaan budaya rasional dan filosofis di bumi Nusantara. 

credit : dimas widhiarto


EmoticonEmoticon